Dari Enhanced ke Second NDC Indonesia Menuju COP 30
oleh: Mahawan Karuniasa
Jakarta, 5 November 2025
Menjelang Konferensi Perubahan Iklim PBB (COP 30) di Belem, Brasil, Indonesia memasuki babak baru diplomasi iklimnya. Setelah memperkuat komitmen lewat Enhanced NDC 2022, kini Second NDC 2025 menandai pergeseran strategi yang lebih konkret dan terintegrasi. Namun, apakah langkah baru ini cukup untuk menjawab ambisi global menuju net-zero?
Dari Janji Menuju Penguatan Aksi
Sejak meratifikasi Paris Agreement, Indonesia telah melalui lintasan panjang dari Intended NDC 2015 hingga Enhanced NDC 2022. Pada tahap Enhanced NDC, Indonesia menaikkan target penurunan emisi dari 29% menjadi 31,89% tanpa syarat, dan dari 41% menjadi 43,20% dengan dukungan internasional. Dokumen ini menjadi tonggak transisi menuju Second NDC, di mana pendekatan berbasis Business as Usual (BAU) digantikan oleh target absolut emisi nasional. Pergeseran ini bukan sekadar perubahan teknis, melainkan transformasi paradigma: dari proyeksi terhadap “yang mungkin” menjadi pengendalian terhadap “yang harus dicapai”.
Second NDC Mengikat Ambisi Dengan Realitas Pembangunan
Second NDC 2025 menyatukan agenda iklim dengan arah pembangunan nasional melalui integrasi penuh dalam RPJMN 2025–2029 dan RPJPN 2025–2045. Visi ini bertumpu pada konsep Asta Cita yang menekankan keseimbangan antara kemajuan ekonomi, keadilan sosial, dan keberlanjutan ekologi. Target emisi Indonesia kini dinyatakan secara absolut: puncak emisi 2030 berada di kisaran 1,34–1,49 GtCO₂e, turun 8–17% dibanding proyeksi Enhanced NDC. Pendekatan ini didukung oleh strategi jangka panjang Low Carbon and Climate Resilience (LTS-LCCR 2050) yang mengarahkan Indonesia menuju Net Zero Emission paling lambat 2060. Namun, capaian tersebut menuntut sistem kebijakan, pendanaan, dan transparansi yang lebih kuat daripada sebelumnya.
FOLU Tulang Punggung Mitigasi Nasional
Sektor kehutanan dan tata guna lahan (FOLU) tetap menjadi jantung upaya mitigasi Indonesia, menyumbang lebih dari separuh potensi penurunan emisi nasional. Melalui strategi FOLU Net Sink 2030, pemerintah menargetkan keseimbangan antara serapan dan emisi sebesar –140 MtCO₂e. Upaya ini mencakup restorasi dua juta hektare gambut, rehabilitasi 12 juta hektare lahan terdegradasi, serta perlindungan hutan primer di Papua dan Kalimantan. Dengan kontribusi besar terhadap karbon global—terutama dari mangrove yang mencapai 22% stok dunia—Indonesia secara ilmiah memiliki posisi strategis dalam menjaga keseimbangan iklim bumi. Tantangannya kini bukan hanya di hutan, tetapi pada tata kelola lintas kementerian, tumpang tindih izin lahan, dan pembiayaan yang mencapai lebih dari USD 470 miliar hingga 2035.
Dari Belem Untuk Dunia: Relevansi COP 30 Bagi Indonesia
COP 30 di Brasil akan menjadi ajang krusial bagi negara-negara untuk menegaskan hasil Global Stocktake dan memperbarui komitmen menuju 2035. Bagi Indonesia, forum ini menjadi kesempatan menunjukkan transisi nyata dari Enhanced NDC ke Second NDC—bukan hanya menaikkan angka ambisi, tetapi membuktikan implementasi di lapangan. Isu Just Transition yang diarusutamakan dalam Second NDC menempatkan dimensi sosial sebagai inti kebijakan: bagaimana pekerja, petani, dan masyarakat adat tetap terlindungi di tengah perubahan ekonomi rendah karbon. Di panggung internasional, Indonesia juga diharapkan memimpin agenda global south cooperation dalam pembiayaan iklim, transfer teknologi, dan peran hutan tropis sebagai global public goods.
Jalan Panjang Menuju 2030: Dari Strategi ke Aksi
Perubahan iklim kini bukan lagi domain diplomasi, tetapi soal transformasi struktural ekonomi nasional. Untuk memastikan target FOLU dan NDC tercapai, Indonesia harus memperkuat MRV System (Measurement, Reporting, Verification) melalui integrasi SRN, SIGN-SMART, dan registry karbon yang kini terhubung ke Bursa Efek Indonesia. Keterlibatan masyarakat lokal dan Masyarakat Hukum Adat menjadi kunci dalam pengawasan, sebagaimana ditekankan dalam program ProKlim dan social forestry. Pembelajaran dari negara lain menunjukkan bahwa keberhasilan bukan ditentukan oleh besarnya target, melainkan oleh konsistensi pelaksanaan. Indonesia kini berada di titik kritis: jika Second NDC benar-benar dijalankan, ia bukan hanya memenuhi komitmen Paris Agreement, tetapi juga meneguhkan kepemimpinan Indonesia sebagai negara megabiodiversitas yang berdaulat dalam aksi iklim global.
Momentum Menuju Kepemimpinan Iklim Baru
Second NDC memberi pesan bahwa Indonesia tidak lagi sekadar mengikuti arus, tetapi ingin membentuk arah baru dalam tata kelola iklim dunia. Transisi dari Enhanced ke Second NDC menunjukkan evolusi dari “janji politik” menjadi “kerangka aksi ilmiah dan kebijakan”. Di COP 30 Brasil, dunia akan menilai apakah negara-negara berkembang seperti Indonesia benar-benar siap menjadi motor transformasi hijau, dan di situlah masa depan diplomasi iklim Indonesia dipertaruhkan—antara komitmen, kapasitas, dan keberanian untuk berubah.




Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!